Rabu, 26 Januari 2011

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Untuk bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in.
Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur'an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Sikap Toleran terhadap Perbedaan Pendapat

Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata'ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.

"Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar." Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi'i.

Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Medinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Khilafiyah dalam Masalah Furu'iyah

Penting untuk segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu'iyah belaka. Atau dalam istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf as sa'igh al maqbul.

Contoh-contoh untuk al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu'; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat 'ied, dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.

Adapun
al khilaf as sa'igh al maqbul, ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang dikenal ulama.

Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.

Muhammad bin Husain al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya memperoleh yudisium summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami terhadap masalah ijtihad sebagai berikut:

1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi' dan kafir pihak yang berselisih paham;

2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;

3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;

4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.

Namun demikian, patut ditambahkan pula bahwa kendati saling menghormati perbedaan pendapat, ulama-ulama itu tetap sepakat tentang kewajiban untuk selalu merujuk kepada Al Qur'an dan Hadits.

Imam Abu Hanifah menegaskan,
"Bila satu hadits dalam satu permasalahan telah shahih, kandungan hadits itulah mazhabku."

Ia juga mengungkapkan,
"Tidak halal bagi siapapun untuk menganut pendapat kami bila dia tidak tahu dasar pengambilannya."

Imam Malik tidak kalah tegasnya.
"Aku ini hanyalah manusia biasa," tukas Malik, "yang bisa benar dan bisa salah. Maka pertimbangkanlah pendapat-pendapatku. Pendapat yang sejalan dengan Al Qur'an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al Qur'an dan Sunnah, tinggalkan."

"Setiap masalah yang terdapat Hadits Nabi yang shahih di dalamnya, sesuai dengan pendapat ulama Hadits; yang berlawanan dengan pendapatku, aku ruju' (kepada Hadits dan meninggalkan pendapatku), baik semasa hidup atau matiku." Demikian Imam Syafi'i menyatakan sikapnya.

http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=895&Itemid=55

Selasa, 25 Januari 2011

Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat

A. TERJADINYA PELAPISAN SOSIAL

1. Terjadi dengan sendirinya
Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyrakat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu, tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya, pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya.

Pada pelapisan yang terjadi dengan sendirinya, maka kedudukan seseorang pada sesuatu strata atau pelapisan adalah secara otomatis, misalnya karena usia tua, karena pemilikan kepandaian yang lebih, atau kerabat pembuka, tanah, seseorang yang memiliki bakat seni atau sakti.

2. Terjadi dengan disengaja
System pelapisan yang disusun dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama. Di dalam system pelapisan ini ditentukan secara jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Dengan adanya pembagian yang jelas dalam hal wewenang dan kekuasaan ini maka di dalam organisasi itu terdapat keteraturan sehingga jelas bagi setiap orang di tempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dan dalam suatu organisasi baik secara vertical maupun secara horizontal.

Contoh pelapisan yang dibentuk dengan sengaja adalah dalam organisasi pemerintahan, organisasi partai politik, perusahaan besar, perkumpulan-perkumpulan resmi, dan lain-lain. Semua contoh-contoh tersebut termasuk ke dakam organisasi formal. Dan dalam system organisasi mengandung 2 sistem :

- system fungsional
- system skalar

Kelemahan dalam system organisasi antara lain :

Pertama : karena organisasi itu sudah diatur sedemikian rupa, sehingga sering terjadi kelemahan di dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Kedua : karena organisasi itu telah diatur sedemikian rupa sehingga membatasi kemampuan-kemampuan individual yang sebenarnya mampu tetapi karena kedudukannya yang mengangkat maka tidak memungkinkan untuk mengambil inisiatif.

B. Kesamaan Derajat

Sebagai warga negara Indonesia, tidak dipungkiri adanaya kesamaan derajat antar rakyaknya, hal itu sudah tercantum jelas dalam UUD 1945 dalam pasal ..

1. Pasal 27
• ayat 1, berisi mengenai kewajiban dasar dan hak asasi yang dimiliki warga negara yaitu menjunjung tinggi hukum dan pemenrintahan
• ayat 2, berisi mengenai hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

2. Pasal 28, ditetapkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menyampaikan pikiran lisan dan tulisan.

3. Pasal 29 ayat 2, kebebasan memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara
4. Pasal 31 ayat 1 dan 2, yang mengatur hak asasi mengenai pengajaran

Kesamaan derajat adalah sifat perhubungan antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik artinya orang sebagai anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah negara

Dengan pasal – pasal dan pengertian di atas, sudah jelas bahwa kita harus saling bertoleransi terhadap orang lain khususnya warga Indonesia. Tidak ada pandangan si kaya dan si miskin, si pintar dan si bodoh, semua di mata perundangan Indonesia adalah sama.


http://wasnudin.blogdetik.com/2010/11/11/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat/

Ciri Khas Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan

Ciri Khas Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan

a. Masyarakat pedesaan

1. Sederhana

Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
a. Secara ekonomi memang tidak mampu
b. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.

2. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
a. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
b. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”

3. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila:
a. Bertemu dengan tetangga
b. Berhadapan dengan pejabat
c. Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
d. Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
e. Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya

4. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.

5. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.

6. Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya.
7. Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.

8. Menghargai orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.

9. Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di daerahnya.

10. Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.

11. Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan.

13. gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain.
Contoh masyarakat pedesaan melakukan gotong-royong adalah saat sedang ada bencana , saat sedang kerja bakti , saat salah satu warganya mengalami kesusahan dll

b. Masyarakat perkotaan

Masyarakat perkotaan sering disebut juga dengan urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Ada beberapa ciri khas yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu :

1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan didesa. Kegiatan keagamaan hanya tampak ditempat-tempatperibadatan seperti dimasjid, gereja. Sedangkan diluar itu, masyarakat beada dalam lingkungan ekonomi dan perdagangan.cara kehidupan demikian mempunyai kecenderungan terhadap duniawi, bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan yg kehidupannya ke arah keagamaan.

2. Orang kota pada umumnya bisa mengurus dirinya sendiri tanpa harus berrgantung pada orang lain. Yang terpenting disini adalah manusia perorangan atau individu. Dikota-kota kehidupan keluarga sering sukar disatukan, sebab perbedaan kepentingan, paham politik, perbedaan agama. Dsb.

3. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Misalnya seorang pegawai negri lebih banyak bergaul rekan-rekannya dari pada dengan tukang becak, tukang kelontong atau pedagang kaki lima lainya. Begitu pula dengan mahasiswa yang lebih senang begaul dengan ssamanya dari pada harus dengan tingkatan yg lebih tinggi atau rendah.

4. Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa. Pekerjaan para warga desa lebih berifat seragam terutama dalam bidang bertani. Oleh karna itu pada masyaakat desa tidak banyak dijumpai pembagian kerja berdasaran keahlian. Lain halnya dikota, sehingga tidk hanya terbatas pada satu sektor pekerjaan. Singkatnya dikota lebih banyak jenis-jenis pekerjaan yg dapat dikerjakan oleh wrga-warga kota, mulai dari yang seerhana hingga bersifat teknologi.

5. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, mmenyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan pribadi.

6. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembbagian waktu yang lebih teliti sangat penting

7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka ddalam menerima pangaruh-pengaruh darri luar. Hal ini sering menimbulakan pertentangan golongan tua dan golongan muda.

c. Perbedaan desa dan kota

Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan-perbedaan yang ada mudah-mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut masyarakat desa dan kota antar lain :

1. Juumlah dan kepadatan penduduk.

2. Lingkungan hidup

3. Mata pencaharian.

4. Corak kehidupan sosial.

5. Stratifikasi sosial

6. Mobilitas sosial.

7. Pola interaksi sosial

8. Solidaritas sosial

9. Kedudukan dalam hirarki sistem administerasi nasional.