Selasa, 03 April 2012

Hak Asasi Manusia


1.      Sejarah Perkembangan  Hak Asasi Manusia
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,  merupakan bagian dari prinsip perlindungan hukum.  Istilah hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan (claim). Pengertian hak asasi manusia berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Perkembangan konsep hak asasi manusia ditelusuri secara historis berawal dari dunia Barat dimulai dari abad XVII sampai dengan abad XX. Pada abad XVII, hak asasi manusia berasal dari hak kodrat (natural rights) yang mengalir dari hukum kodrat (natural law). Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan politik (political freedom) dan hak untuk ada (rights to be). Hal ini dipengaruhi keadaan masa sebelumnya dalam kehidupan bernegara yang  absolut. Pada abad XVIII, hak kodrat dirasionalkan melalui konsep kontrak sosial dan mebuat hak tersebut menjadi sekular, rational, universal, individual demokratik dan radikal. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan sipil (civil libertis) dan hak untuk memiliki (rights to have). Pada abad XIX masuk pemikiran sosialisme yang lebih memberikan penekanan pada masyarakat (society). Pada masa ini lahir fungsi sosial dan hak-hak individu.  Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah hak untuk berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk berbuat (rights to do). Pada abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (form natural human rights into positive legal rights). Saat itu lahirlah The Universal Declaration of Human Rights. Hak yang meonjol pada abad ini adalah hak-hak sosial ekonomi (sosial economic rights) dan hak untuk mendapatkan sesuatu (rights to receive).
Pemikiran konsep hak asasi manusia, secara umum menurut Philipus M Hadjon, dibedakan dalam tiga kelompok, berdasarkan ide/ gagasan yaitu political and ideological thought yaitu Barat, sosialis dan dunia ketiga. Yang dikelompokkan dalam pemikiran barat meliputi Eropa Barat, amerika Serikat, Kanada, Aistralia, New Zealan, sebagian Amerika Latin yang dipengaruhi pemikiran Barat, dan Jepang (dari segi ekonomi).  Kelompok sosialis meliputi negara sosialis di Eropa timur, Kuba, Yugoslavia. Selain itu ada kelompok dunia ketiga yang tidak mempunyai kesatuan ideologi, misalnya India dan Indonesia.
Berkaitan dengan konsepsi hak asasi manusia di Barat disebutkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa hak asasi manusia bersumber pada hak-hak kodrat (natural rights/ jus naturalis) yang mengalir dari hukum kodrat dan telah mengalami proses perkembangan yang panjang sejak abad XVII hingga abad XX.  Konsep hak asasi manusia pada abad XX merupakan sintesis dari tesis abad XVIII dan antitesis abad XIX. Tesis abad XVIII : hak asasi manusia tidaklah ditasbihkan secara ilahi (divinely ordained) juga tidak dipahami secara ilahi (divinely conceived); hak-hak itu adalah pemberian Allah sebagai konsekuensi dari manusia adalah ciptaan Allah. Hak-hak itu sifatnya kodrati (natural)
Antitesis abad XIX : pertama masuknya dukungan etik dan utilitarian, kedua pengaruh sosialisme yang lebih mengutamakan masyarakat atau kelompok daripada individu, bahwa keselamatan individu hanya dimungkinkan dalam keselamatan kelompok atau masyarakat. Sintesis abad XX : pertama , abad XX menjembatani hukum kodrat dan hukum positif yaitu dengan menjadikan hak-hak kodrat sebagai hak-hak hukum posistif ( positive legal rights); kedua mengawinkan penekanan pada individu (yang sifatnya otonom dan memiliki kebebasan) dengan penekanan (sosialisme) pada kelompok serta penekanan kesejahteraan sosial dan ekonomi untuk semua, mengawinkan pandangan pemerintah sebagai ancaman bagi kebebasan dengan pandangan terhadap pemerintah sebagai alat yang dibutuhkan untuk memejukan kesejahteraan bersama. Salah satu aspek dari sintesis ini adalah pandangan atas hak kebebasan dan persamaan : kalau abad XVIII lebih mengedepankan hak atas kebebasan, dan abad XIX lebih mengedepankan pada asas persamaan sehingga hak atas persamaan berada di atas hak atas kebebasan, maka bad XX  menerima kedua hak tersebut (hak atas kebebasan dan persamaan) sebagai hak dasar (basic rights). Dalam konteks ini, abad XVII merupakan titik awal atau peletak dasar dari konsep tentang hak karena sebelumnya (abad XVI) yang mengedepan adalah kewajiban. Mengedepannya konsep kewajiban pada abad XVI karena dibutuhkan untuk membatasi kekuasaan hawa nafsu.
Konsep hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia telah dirumuskan dalam Undang – Undang Dasar 1945. Perumusannya belum diilhami oleh The Universal Declaration of Human Rights karena terbentuknya lebih awal. Dengan demikian rumusan HAM dalam UUD’45 merupakan pikiran-pikiran yang didasarkan kepada latar belakang tradisi budaya kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Perkembangan konsep hak asasi manusia di dunia internasional secara umum dibedakan dalam tiga generasi yaitu generasi I dengan penekanan hak sipil dan politik, generasi II dengan penekanan hak sosial ekonomi dan budaya serta generasi ketiga yang melahirkan hak pembangunan.

a.      Konsepsi hak asasi manusia Hak-hak Sipil dan Politik (Generasi I)

1.      Hak-hak bidang sipil mencakup, antara lain :
·         Hak untuk menentukan nasib sendiri
·         Hak untuk hidup
·         Hak untuk tidak dihukum mati
·         Hak untuk tidak disiksa
·         Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
·         Hak atas peradilan yang adil
2.      Hak-hak bidang politik, antara lain :
·         Hak untuk menyampaikan pendapat
·         Hak untuk berkumpul dan berserikat
·         Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum
·         Hak untuk memilih dan dipilih

b.      Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (Generasi II)

1.      Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
·         Hak untuk bekerja
·         Hak untuk mendapat upah yang sama
·         Hak untuk tidak dipaksa bekerja
·         Hak untuk cuti
·         Hak atas makanan
·         Hak atas perumahan
·         Hak atas kesehatan
·         Hak atas pendidikan

2.      Hak-hak bidang budaya, antara lain :
·         Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
·         Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
·         Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)

c.       Hak Pembangunan (Generasi III)

Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
·         Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
·         Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
·         Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai
Berbeda dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang membedakan perkembangan konsep hak asasi manusia dalam lima generasi. Jimly Asshiddiqie menyebut Generasi I dan II sebagai generasi II, sedangkan generasi I mulai ditandatanganinya Piagam PBB sampai dengan tahun 1966. Generasi Pertama, dimulai dari persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.  Generasi Kedua, dimulai dari persitiwa penandatanganan International Couvenant on Civil and Political Rights dan  International Couvenant on Eco­nomic, Sosial and Cultural Rights (Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966) Generasi Ketiga, tahun 1986, muncul konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Generasi I, II, dan III pada pokoknya mempunyai karakteristik dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Generasi Keempat, mempunyai sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal. Hal ini dipengaruhi adanya fenomena :  Pertama, fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara produsen dan konsumen.  Kedua, memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia.  Ketiga,  fenomena berkem­bangnya suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens, dikalangan diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplo­matic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbe­lanja.  Keempat, fenomena berkem­bangnya corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelom­pokan kultural penduduk. Pem­bagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demo­kratis dalam institusi parlemen. Generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.

Ketentuan hukum internasional berkaitan dengan HAM
1.         The Universal Declaration of Human Rights
The Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disingkat dengan Piagam PBB) Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948. Piagam PBB berisi 30 Pasal. Pasal 1 Pigam PBB, yaitu Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraa Pasal ini merupakan dasar filosofi mendefinisikan asumsi dasar Deklarasi: bahwa hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut darinya; dan karena manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia berbeda dengan makhluk lainnya di bumi, dan karenanya berhak untuk mendapatkan hak dan kebebasan tertentu yang tidak dinikmati makhluk lain.
Pasal 2 Piagam PBB, merupakan prinsip dasar dari persamaan dan nondiskriminasi. yaitu : Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya, pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya
Pasal 3 Piagam PBB, yaitu “Everyone has the right to life, liberty and security of person”. (Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi). Pasal ini merupakan tonggak pertama Deklarasi menyatakan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan seseorang suatu hak yang esensial untuk pemenuhan hak-hak lainnya.
Pasal 4 – 21 Piagam PBB merupakan prinsip dan jaminan atas hak – hak sipil dan politik, yang selanjutnya dijabarkan dalam International Couvenant on Civil and Political Rights  (Kovenan hak sipil dan politik). Adapun isi dari Pasal 4 – 21 Piagam PBB, adalah :
1.            kebebasan dari perbudakan dan perhambaan  (Pasal 4 ).
2.            kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat(Pasal 5).
3.            hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun (Pasal 6,7).
4.            hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif melalui peradilan (Pasal  8).
5.            kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenang-wenang (Pasal  9).
6.            hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak (Pasal  10).
7.            hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya (Pasal 11 ).
8.            kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat (Pasal 12 ).
9.            kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal (Pasal 13 ).
10.        hak atas suaka (Pasal  14).
11.        hak atas kewarganegaraan (Pasal  15).
12.        hak untuk menikah dan mendirikan keluarga (Pasal 16 ).
13.        hak untuk memiliki harta benda (Pasal 17).
14.        kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18).
15.        kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat (Pasal 19).
16.        hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai (Pasal 20).
17.        hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 21).
Selanjutnya ketentuan Pasal 22 - 27 Piagam PBB merupakan jaminan atas hak – hak sosial ekonomi dan budaya, yang selanjutnya dijabarkan dalam International Couvenant on Sosial, Economic and Cultural Rights  (Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya). Adapun isi dari Pasal 22 - 27 Piagam PBB, adalah :
1.            hak atas jaminan sosial (Pasal 22).
2.            hak untuk bekerja (Pasal 23).
3.            hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama (Pasal 23).
4.            hak untuk beristirahat dan bertamasya (Pasal  24).
5.            hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan (Pasal 25 ).
6.            hak atas pendidikan (Pasal 26).
7.            hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat (Pasal 27).
Selanjutnya Pasal 28 – 30 Piagam PBB  merupakan rumusan hak dan kewajiban masyarakat internasional, yaitu :
Pasal 28 Pigam PBB, yaitu Setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional, di mana hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya
Pasal 29 Pigam PBB, yaitu :
(1) Setiap orang mempunyai kewajiban kepada masyarakat tempat satu-satunya di mana ia dimungkinkan untuk mengembangkan pribadinya secara bebas dan penuh
(2) Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis
(3) Hak dan kebebasan ini dengan jalan apapun tidak dapat dilaksanakan apabila bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa- Bangsa

Pasal 30 Pigam PBB, yaitu Tidak ada satu ketentuan pun dalam Deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu Negara, kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan apapun yang diatur di dalam Deklarasi ini Pasal 28 – 30 Piagam PBB  merupakan rumusan hak dan kewajiban masyarakat internasional, untuk menjaga ketertiban umum dengan pelaksanaan hak dan kebebasan yang sesuai dengan hukum.

2.      International Covenant on Civil and Political Rights.
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik) ditetapkan dan dinyatakan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966.  Kovenan itifikasi Ini diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang RI No. 12. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik) LN Tahun 2005 No.  LN Tahun 2005 No.  119 TLN No. 4558. Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik  berisi 52 Pasal. Adapun yang berkaitan dengan rumusan hak sipil dan politik terdapat dalam Pasal 6 – Pasal 27, yaitu :
1.      hak untuk hidup (Pasal 6)
2.      tidak seorang pun dapat dijadikan obyek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat (Pasal 7);
3.      tidak seorangpun dapat diperlakukan sebagai budak; bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang; dan tidak seorangpun dapat diperhambakan atau diminta untuk melakukan kerja paksa (Pasal 8);
4.      tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang (Pasal 9)
5.      semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi (Pasal 10);
6.      tidak seorangpun dapat dipenjarakan semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban suatu kontrak (Pasal 11).
7.      kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal (Pasal 12)
8.      batasan-batasan yang diperbolehkan ketika mendeportasi warga negara asing yang secara sah berada dalam wilayah Negara Pihak (Pasal 13).
9.      kesetaraan setiap orang di depan pengadilan dan lembaga peradilan dan jaminan dalam proses pengaduan pidana dan perdata (Pasal 14).
10.  melarang pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut (Pasal 15);
11.  menegaskan hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum (Pasal 16);
12.  larangan terhadap pelanggaran tidak sah dan sewenang-wenang atas kehidupan pribadi, keluarga, rumah atau korespondensi, dan serangan tidak sah atas kehormatan dan reputasinya (Pasal 17).
13.  hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18),
14.  kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran (Pasal 19).
15.  perlunya hukum yang melarang propaganda perang dan upaya-upaya menimbulkan kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20).
16.  hak berkumpul secara damai (Pasal 21).
17.  hak untuk berserikat (Pasal 22)
18.  hak bagi laki-laki dan perempuan pada usia kawin untuk menikah dan membentuk keluarga, dan prinsip persamaan hak dan kewajiban pasangan yang terikat dalam perkawinan, selama perkawinan maupun setelah pembubaran perkawinan (Pasal 23).
19.  mengatur upaya-upaya melindungi hak anak (Pasal 24),
20.  mengakui hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam melakukan kegiatan publik, untuk memilih dan dipilih, dan untuk memiliki akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 25).
21.  setiap orang adalah sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan yang sama di depan hukum (Pasal 26).
22.  mengatur perlindungan terhadap hak suku bangsa, etnis, gama dan bahasa minoritas yang berdiam di wilayah Negara Pihak (Pasal 27).
3.      International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights.
International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan internasional tentang hak sosial, ekonomi dan budaya) ditetapkan dan dinyatakan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966.  Kovenan itifikasi Ini diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang RI No. 11. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan internasional tentang hak sosial, ekonomi dan budaya) LN Tahun 2005 No.  119 TLN No. 4557. Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik  berisi 31 Pasal. Adapun yang berkaitan dengan rumusan hak sipil dan politik terdapat dalam Pasal 6 – Pasal 15, yaitu :
a.       hak untuk bekerja (Pasal 6);
b.      hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik (Pasal 7);
c.       hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi perburuhan (Pasal 8);
d.      hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial khususnya para ibu, anak dan orang muda (Pasal  9, 10);
e.       hak untuk mendapat kehidupan yang layak (Pasal11);
f.       hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi (Pasal 12);
g.      hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14);
h.      hak untuk  berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15).

Piagam PBB,  Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya selanjutnya menjadi dasar pengembangan pemikiran rumusan hak asasi manusia. Termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam UU No. 12 Tahun 2005 dan telah meratifikasi Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya ke dalam UU No. 11 Tahun 2005.  Merupakan kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk segera mewujudkannya dalam peraturan perundang-undangan karena akibat hokum ratifikasi suatu perjanjian internasional adalah menjadi bagian dari hokum nasional yang harus ditaati. Kenyataan masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum sesuai bahkan bertentangan dengan materi Piagam PBB,  Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya, contohnya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar